“Assalamu’alaikum
warahmatullah” kutolehkan kepalaku ke arah kiri, mengakhiri shalat isya’
secara berjama’ah. Setelah shalat aku terdiam. Dalam diam rasa haru dan rindu
tiba-tiba muncul di dalam hatiku, teringat akan sebuah kenangan. Kenangan masa
lalu tentang harapan ayahku. Seusai sholat sebuah do’a kupanjatkan
sebagai bukti baktiku kepadamu. Doa inilah yang mampu mengobati rasa rinduku.
Tak ada lagi yang bisa aku hadiahkan kepadamu untuk segala jerih payahmu,
melainkan hanya sebuah doa. Walaupun aku sadari berapapun banyaknya doa yang ku
panjatkan, tetap tidak akan mampu melunasi segala apa yang telah engkau
lakukan.
“le… sini…!, iqra’nya dibawa” suara berat
ayahku yang dulu selalu terdengar selepas shalat maghrib. Akupun menghampirinya
dengan membawa buku kecil berwarna merah yang bertuliskan “iqra’ jilid 1”.
Masih lekat dan teringat di dalam otakku, bagaimana kesabaran ayahkku berjuang
mengenalkan huruf hija’yah kepada putranya yang kini telah beranjak dewasa.
Satu demi satu huruf hija’iyah disebutkan dan aku harus menirukan sebagaimana
yang ayahku ucapkan. Terasa membosan bagiku yang ketika itu lebih senang dengan
acara televisi, dan lebih tertarik dengan mainan baruku yang baru saja dibeli.
Sebagai bentuk protesku, kadang aku berlari kesana kemari, tidak perhatian
dengan apa yang ayah ajarkan. Namun ayahku tidak pernah bosan dengan tingkah
polahku, dan tetap sabar mengajari ku membaca Al-Qur’an.
Pernah suatu ketika ayahku memukulku karena aku mogok belajar.
Tentu saja suara tangisku membahana, merobek ketenangan senja. Namun, dengan
penuh sayang, jemari ayahku membelai rambutku. Dan lisannya memberikan nasehat
bertapa pentingnya belajar membaca Al-Qur’an. Kala itu aku tidak faham dengan
semua yang beliau ucapkan, aku hanya mendengarkan dan sedikit senang karana
mendapatkan sebuah perhatian. Namun ada satu pesan yang tidak bisa aku lupakan,
“le… kamu ini anak laki-laki, jadi harus
bisa baca Al-Quran…karena anak laki-laki kalau sudah besar akan menjadi imam.”
Setelah kejadian itu setiap malam ayahku menuntunku untuk
menghafal juz’amma. Dimulai dari an-nas hingga terus naik ke atas. Bagi diriku
yang masih kecil butuh beberapa hari untuk menghafal satu surat pendek. Namun ayahku
tidak pernah mengeluh atau bahkan putus asa dalam mendidik anaknya. Seringnya,
setelah aku berhasil menghafal satu surat pendek, doa-doa sholat, ataupun doa
sehari-hari dari TPA yang kuikuti, aku akan memamerkannya kepada ayahku. Rasa
senang ketika melihatku bisa menyetorkan hafalanku dengan sempurna,
terekspresikan dengan seulas senyum di wajahnya. Lalu biasanya sebuah pujian
atau belaian di rambutku akan aku terima.
Kini semua itu hanya menjadi sebuah kenangan. Engkau
tidak akan lagi mencubitku, ketika rasa futur (malas) mengabrasi semangatku.
Engkau tidak lagi membelai penuh sayang, ketika jiwa ini menangis menghadapi beratnya
ujian.Engkau tidak lagi memberikkan senyuman penuh kebanggaan, ketika sebuah
tantangan berhasil kuselesaikan. Karena kau anggap diriku telah dewasa, telah
mampu menentukan masa depan diriku sendiri. Namun harapanmu kepadaku tetap
Allah jaga wahai ayahku, Allah membukakan mata hatiku untuk memperdalam agama.
Setelah ku terlena dengan kehidupan dunia.
maka sayangi lah ayah kita selagi masih ada, apapun itu caranya :)
BalasHapuskarena ketika ia sudah 'pergi' penyesalannya akan selalu menghantui, dan penyampaian sayang kita akan terbatas..
yuphh . .makanya, mumpung ayah masih ada.
Hapusberikan yang terbaik untuk beliau.
bukan hanya untuk ayah, tapi untuk ibu kita juga.
untuk semua orang yang menyayangi kita.
karena untuk sekarang, hanya dengan membuat mereka banggalah yang kita bisa.
udah gak ada T.T
Hapustapi harus ttp semangat ^^v
eh bukan terbatas tapi, merasa selalu kurang puas krn tdk seperti dahulu. smngt kakak
BalasHapustakut...
BalasHapustakut belum bisa memberi yg terbaik..
pertama menelan kegagalan,,uji pertama kontam..:(
bagamana aku menjelaskan pada meraka (ayah ibu) sedang mereka telah merindukan kelulusanku..:(
hehe . .kontam?!
Hapuswahhh . .mainnya ga aseptis sih.
:p
sante wae bro, semua itu butuh proses.
tinggal kita yang akan sabar mengalahkan proses itu, ataukah kita yang akan dikalahkan oleh proses itu.
:)
Kalo gw dulu ayah-ibu yang ngajarin, jadi ga cuman ayah :) Dan sekarang walo udah ga maksa2 lagi buat menghafal AlQuran, kadang diplototin kalo ba'da magrib ga tilawah. Asli, kayak anak kecil aja diplototin kayak gitu XD
BalasHapuswahh . .kalo ibu mah masih patah-patah bang baca qur'annya.
Hapusdulu di kampung ibu ga ada TPA kayak jaman sekarang, jadinya ibu belajar baca qur'an pas udah nikah.
asik donk masih diplototin, jadi ada yang ngingetin.
seumuran kita kan biasanya kalo ga diingetin suka males2an.
:D