Ada salah satu
ungkapan, bahwa mereka yang gemar berpetualang di alam bebas adalah orang-orang
yang mencintai kematian. Benarkah demikian? Sebenarnya, idiom tersebut salah,
karena berpetualang itulah cara untuk menghargai hidup. Ada satu keinginan
untuk memberi arti dan nilai dalam hidup. Dan rasanya benar jika seorang
filosof mengatakan “di tengah hutan dan
di alam bebas, aku merasa menjadi manusia kembali”.
Petualang yang
meninggal di alam bebas, bukanlah orang yang mencintai kematian. Kematiannya itu
sebenarnya tak berbeda dengan kematian orang lain yang tertabrak mobil di jalan
raya atau terbunuh perampok. “Yang pasti,
mereka meninggal justru dalam usahanya untuk menghargai hidup ini. Hidup itu
harus lebih dari sekedarnya”, tulis Budi Laksmono yang meninggal digulung
jeram Sungai Alas, Aceh.
Bagi orang awam, kiprah
petualang seperti pendaki gunung selalu mengundang pertanyaan klise mau apa sih ke sana? Pertanyaan sederhana,
tapi sering membuat bingung yang ditanya atau bahkan mengundang rasa kesal.
George F. Mallory seorang pendaki gunung terkenal asal Inggris mungkin karena
kesal ditanya seperti itu, maka dia menjawab”because
it is there, karena gunung itu ada!”.
Beragam jawaban boleh
muncul terkait pertanyaan tersebut, Soe Hoek Gie, salah seorang pendiri Mapala
UI, menulisnya dalam sebuah puisi “Aku
cinta padamu Pangrango, karena aku cinta keberanian hidup”. Bagi pemuda
ini, keberanian hidup itu harus dibayar dengan nyawanya sendiri, Soe Hoek Gie
meninggal bersama seorang temannya Idhan Lubis karena menghirup gas beracun di
lereng kerucut Mahameru, Gunung Semeru pada tanggal 16 Desember 1969 di pelukan
seorang sahabatnya Herman O. Lantang.
Pemuda aktif yang
sehari-hari terlibat dalam soal pelik di dunia politik ini mungkin menganggap
petualangan di gunung sebagai arena untuk melatih keberanian menghadapi hidup. Mungkin
pula sebagai pelariannya dari dunia yang digelutinya di kota. Herman O. Lantang
yakin bahwa sahabatnya itu meninggal dengan senyum di bibir. “Dia meninggal di tengah sahabat-sahabatnya
di alam bebas, jauh dari intrik politik yang kotor”.
Motivasi melakukan
kegiatan alam di alam bebas, khusunya mendaki gunung memang bermacam-macam. Manusia
mempunyai kebutuhan psikologis seperti halnya kebutuhan lainnya. Kebutuhan akan
pengalaman baru, kebutuhan untuk berprestasi, dan kebutuhan untuk diakui
masyarakat dan bangsanya. Mendaki gunung adalah salah satu sarana untuk
memenuhi kebutuhan itu, disadari atau tidak. Semua ini sah, tentu saja.
Sebenarnya yang paling
mendasar dari semua motivasi itu adalah rasa ingin tahu yang menjadi jiwa
setiap manusia. Rasa ingin tahu adalah dasar kegiatan mendaki gunung dan
petualangan lainnya. Keingintahuan setara dengan rasa ingin tahu seorang bocah,
dan inilah yang mendorong keberanian dan ketabahan untuk menghadapi tantangan
alam. Tetapi apakah sebenarnya keberanian dan ketabahan itu bagi pendaki
gunung?
Peter Boardman, seorang
pendaki gunung asal Inggris, menjadi jenuh dengan pujian yang bertubi-tubi,
setelah keberhasilannya mencapai puncak Everest. Peter Boardman yang kemudian
hilang di Everest tersebut menulis arti keberanian dan ketabahan baginya.”Dibutuhkan lebih banyak keberanian untuk
menghadapi kehidupan sehari-hari yang sebenarnya lebih kejam daripada bahaya
pendakian yang nyata. Ketabahan yang dibituhkan lebih banyak untuk bekerja di
kota daripada mendaki gunung yang tinggi”.
Keberanian dan
ketabahan yang dibutuhkan ketika mendaki gunung cuma sebagian kecil saja dari
hidup kita. Bahaya yang mengancam jauh lebih banyak ada di dunia peradaban, di
perkotaan ketimbang di gunung, hutan, dan dimana saja di alam terbuka. Di dunia
peradaban modern, di kota, begitu banyak masalah yang membutuhkan keberanian
dan ketabahan untuk menyelesaikannya. Di gunung, masalah yang kita hadapi cuma satu
“bagaimana mencapai puncak lalu turun
kembali dengan selamat”.
“Hidup
adalah soal keberanian menghadapi yang tanda tanya, tanpa kita menawar, terima
dan hadapilah” –Soe Hoek Gie-
wah postingan ene jawabannya ada disini..-salut-
BalasHapus^_^
klo namanya blogger bukan cuma salaing blas komen tapi juga saling balas postingan ya,hehe..:p
hehe . .terinspirasi dari tulisan ente, jadi berpikir kenapa kok ga dibuat "tandingannya".
BalasHapusjadilah postingan ini.
:D
weh BeTeWe jahat juga kao,,tak liat2 link blog-ku gak dipasang ik..hmm ra setia kawan kie..-________-
Hapusgenah enek nhok, ning link Komunitas Blogger IPB.
Hapuswahh . .wahh . .
wingi ketokke gak ana kang,,nang duwure salman langsung Muhammad Edi Sutanto,,sorry nek aku sliwer,hehe..
HapusIPB angkatan berapa mas edi dan mas faiz? udah pernah ke jonggring salokanya semeru?
BalasHapussaya angkatan 2008 mas, ada kenalan tah di IPB?
BalasHapusheumm . .honestly saya belum pernah ke semeru mas, baru bulan depan mau ke sana insyaa Allah.
mas sugi udah pernah?
panggil aja aan...koq comentku diatas nanyanya ke mas edi dan mas faiz ya?maksudnya ke mas rizki dan mas faiz...aku angkatan 42 alias 2005 tapi sampe sekarang belum lulus2,,,hehe...jurusan apa?
BalasHapussaya departemen ITP mas, mas aan departemen apa tho?
Hapussuka naik gunung jg?
mau join nggak bulan depan mas sama anak2 ITP?
:D
punten nda bisa, sekarang saya mukim di purwokerto
BalasHapusmaksudnya saya belum lulus tu saya menDOkan diri disemester 5...hehe
kenal mas taufik? dia dosen klimatologi, mungkin bareng kalo pas ta'lim...kalo ketemu, salam ya