Kita
hidup dalam ilusi, kawan. Kita merasa berkuasa dengan pangkat dan jabatan
tertentu, padahal tidak. Kita merasa punya anak buah yang bisa disuruh
melakukan apapun, yang kita PD sekali yakin, disuruh makan baut pun mereka mau.
Kita bisa memerintah, berteriak marah, memecat, merendahkan, kita merasa
sekali. Padahal tidak. Demi Allah, semua kekuasaan yang kita miliki hanya
titipan.
Kita hidup dalam ilusi, kawan. Kita merasa kaya, dengan segala
harta benda, padahal tidak. Kita merasa bisa membeli apa pun, memaksa memiliki
apa pun. Kalau tinggal ditolak, naikan harga tawarannya. Ditolak lagi, naikkan
lagi berkali-kali lipat harganya, sampai tidak ada yang bisa menolaknya. Kita
merasa bisa memiliki dunia dengan uang. Padahal tidak. Demi Allah, semua
kekayaan yang kita miliki hanya titipan.
Kita hidup dalam ilusi, kawan. Kita merasa pintar, hebat sekali
dengan banyak pengetahuan. Bisa membuat orang terpesona dengan kepandaian
bicara, menulis, temuan hebat, teknologi. Merasa bisa menulis buku yang mengubah
dunia. Merasa bisa menemukan teknologi yang membalik jalan sejarah. Padahal
tidak. Demi Allah, semua kepintaran yg kita miliki hanya pemberian.
Kita hidup dalam ilusi, kawan. Berapa banyak dokter yang pongah
merasa dialah yg memberikan kesembuhan? Padahal sehat dan sakit adalah milik
Allah. Berapa banyak guru yang sombong merasa dialah sumber ilmu pengetahuan?
Padahal ilmu adalah hadiah dari Allah, sebiji atom saja dititipkan ke kita.
Berapa banyak polisi, tentara, pegawai yang merasa memegang kerah leher urusan
orang lain? Padahal kekuasaan yang diberikan hanya amanah yang harus dijaga.
Berapa banyak pesohor, aktor, penulis yang merasa ngetop sekali, bisa membuat
trend, bisa membalik budaya, kebiasaan, semua orang kenal dia? Padahal
ketenaran adalah debu hina titipan Allah. Berapa banyak orang yang punya
bisnis, perusahaan, takabur, merasa kalau dialah yang memberikan rezeki ke
orang lain? Padahal rezeki miliknya sendiri adalah mutlak kehendak Allah.
Kita hidup dalam ilusi, kawan. Maka berhentilah.
Berhentilah merasa lebih berkuasa, merasa lebih pintar, merasa
lebih tenar, merasa dibutuhkan, merasa apa pun. Karena semua hanya titipan. Benar-benar
hanya titipan. Kita harusnya menangis, berlinang air mata. Ayo, mari pejamkan
mata sejenak, bayangkan saat mati tiba. Semua diambil dari kita. Apa pun itu,
semua diambil begitu saja. Persis seperti anak kecil yang diambil mainan
kesayangannya. Bedanya, anak kecil itu bisa berteriak marah. Tapi kita, hanya
terbujur kaku, bahkan satu kata protes pun tidak bisa lagi.
Duhai Rabb, Yaa Rahman, benar-benar semua ini hanya titipan.
Tidak lain, tidak bukan. Maka, please Yaa Allah, ajarkanlah selalu di hati kami
kesadaran : bahwa bahkan diri kami
sendiri, diri kami sendiri pun bukan milik kami.
Jauhkanlah perasaan merasa lebih dibanding orang lain. Walau
sekecil apapun. Jauhkanlah.
~DTR~
Aslm...wr wb
BalasHapusmembaca tulisan ini mengingatkan saya pada pidato Abu bakr ash-sidiq saat dilantik jadi khalifah, dan Umar Al Khattab saat menggendong sendiri tepung dengan punggungnya..
Hadza Min Fadli Rabbi..
Itu karena karunia Tuhan,
bahkan kesolehan pun adalah karena karuniaNya
Asslmkm. ^sangat menginspirasi
Hapus