Bila kita bertanya pada individu yang terlihat begitu happy, produktif dan berprestasi dalam pekerjaannya, sering kita mendengar bahwa bagi mereka kuncinya adalah "passion" pada pekerjaannya itu. Namun bagi sebagian orang, pekerjaan yang dilakukan dengan 'misi' dan 'hati' pun, adakalanya bisa juga membosankan, apalagi bila kita berada di organisasi yang relatif besar,dengan banyaknya anak tangga karir dan rutinitas kerja. Prinsip 'worklife balance' ternyata tidak selalu merupakan jalan keluar. Ada orang yang kemudian mencoba untuk menjauhi pekerjaan itu, namun semakin dijauhi malah makin dihantui rasa bersalah dan tidak menemukan solusinya. Ada orang yang berusaha mencari kambing hitam terhadap sumber kebosanannya, bahkan yang lebih berat, mulai merasa sakit-sakitan karena menahan rasa bosan yang begitu kuat. Rasanya tidak mungkin ada orang yang beranggapan bahwa posisi seperti ini adalah "comfort zone", karena rasa bosan ini pastilah tidak nyaman. Namun, individu yang tidak berusaha mengubah situasinya, mungkin memang tidak tahu caranya.
Inventarisasi diri.
Ibarat
keadaan tubuh yang sudah lama tidak berolahraga, kita bisa merasa tidak peka
terhadap kekuatan, gerak dan fleksibilitas kita. Dalam pekerjaan pun orang bisa
merasa "tidak bugar", apalagi bila sudah mengerjakan pekerjaan tertentu
selama bertahun-tahun tanpa ada perubahan tantangan, baik dari pelanggan
eksternal ataupun secara internal organisasi. Saat-saat seperti ini sebetulnya
adalah saat yang paling tepat untuk kita mulai mendata ulang apa saja 'lesson learnt' serta ketrampilan-ketrampilan
yang sudah kita pelajari dari pengalaman yang lalu. Menginventarisasi diri
adalah kegiatan yang bisa membangun kesadaran kita sekaligus membantu kita
melihat sejauh apa pertumbuhan nilai diri, bagi diri sendiri, tim, maupun
organisasi. Akan sangat bermanfaat bila lesson
learnt yang kita punya kemudian kita gunakan untuk menyiapkan bahan-bahan
pelatihan bagi para junior dan melakukan 'coaching'
pada mereka. Dengan melakukan 'coaching'
atau 'mentoring', tanpa disadari
kita pun sudah me'remaja'kan pengetahuan kita.
Secara
otomatis, inventarisasi diri akan membawa kita memeriksa hafalan dan intuisi,
sekaligus mempertanyakan apakah cara kerja saya sudah efisien? Apakah ada cara
lain yang lebih praktis? Banyak penelitian membuktikan bahwa alat-alat baru dan
cara cara yang lebih praktis justru ditemukan oleh orang-orang yang merasa
bosan pada pekerjaannya. Seorang kepala cabang di sebuah bank tiba-tiba
menemukan adanya pengulangan kerja terhadap sebuah dokumen yang menyebabkan
perbedaan memproses sampai 2 x 24 jam. Dengan memeriksa ulang pekerjaan rutin,
kita bisa menemukan efisiensi dan simplisiti yang luar biasa. Terkadang, kita juga
butuh pandangan orang lain dan memanfaatkan persepsi orang lain terhadap
pekerjaan kita. Dengan adanya "second
opinion", baik dari orang dalam, rekan sendiri, ataupun konsultan maupun
orang luar, kita bisa mendapatkan masukan berharga.
Efek interaksi dan “benturan”
Banyak
orang menyarankan untuk menjauh sementara waktu dari hal rutin yang kita
lakukan untuk mengusir kebosanan, misalnya mempelajari hal di luar pekerjaan
secara jangka pendek. Hal ini sebetulnya ada benarnya dan ternyata sangat
berpengaruh pada sikap mental kita. Kita mengenal fenomena "medici effect", di mana seseorang justru menemukan jalan
keluar dari masalahnya, setelah mengalami hal lain di luar pekerjaannya. Hal
ini juga dilakukan para atlit yang selalu juga melakukan latihan di luar keahliannya.
Efek interaksi ini bukan hal yang misterius. Persepsi dari 'dalam' pekerjaan
tentunya akan berbeda dengan persepsi dari luar. Bila sesekali kita mengerjakan
pekerjaan lain, maka kita akan memperkaya diri kita.
Kita tidak perlu alergi terhadap rasa bosan, karena rasa bosan terhadap pekerjaan sebetulnya juga merupakan alarm bahwa kita siap untuk memperkuat diri. Kita bisa menambah ketrampilan tertentu atau sekedar menambah kegiatan olah raga baru. Kita bisa mendapatkan teman-teman baru atau memulai kegiatan media sosial seperti twitter, facebook dan linked-in yang bisa membawa kita ke lingkungan kerja yang lebih luas dan lebih maju. Yang jelas, semangat kerja kita memang memerlukan gizi pembugar. Bentuknya bisa berupa asupan-asupan teman baru, pengetahuan dan ketrampilan baru, ataupun latihan-latihan keras dan sulit sehingga urat syaraf kita terlatih untuk menghadapi tantangan baru.
Kita tidak perlu alergi terhadap rasa bosan, karena rasa bosan terhadap pekerjaan sebetulnya juga merupakan alarm bahwa kita siap untuk memperkuat diri. Kita bisa menambah ketrampilan tertentu atau sekedar menambah kegiatan olah raga baru. Kita bisa mendapatkan teman-teman baru atau memulai kegiatan media sosial seperti twitter, facebook dan linked-in yang bisa membawa kita ke lingkungan kerja yang lebih luas dan lebih maju. Yang jelas, semangat kerja kita memang memerlukan gizi pembugar. Bentuknya bisa berupa asupan-asupan teman baru, pengetahuan dan ketrampilan baru, ataupun latihan-latihan keras dan sulit sehingga urat syaraf kita terlatih untuk menghadapi tantangan baru.
“Kita tidak perlu alergi terhadap rasa bosan, karena rasa bosan terhadap pekerjaan sebetulnya juga merupakan alarm bahwa kita siap untuk memperkuat diri”.
Sumber :
Kompas, 5 November 2011
thx ya sob.., tulisanx memberi semangat...!
BalasHapusyuphh . .itu cuma ngutip artikel yang ada di kompas kok bro, sedikit diedit juga tapi.
BalasHapuspostingan situ juga bagus2, nambah ilmu masbro.
^_^
aslm..
BalasHapusini materi yang dua minggu ini saya terima dalam seminar-seminar kewirausahaan... Passion...!!
Terima kasih sudah membagi ilmu...
hehe . .saya juga baru dapet materi tentang passion itu minggu lalu mbak yona.
BalasHapuskarena kepengurusan di organisasi udah mau ganti, jadinya ada training ke adek2 yang baru masuk tentang gimana caranya agar berorganisasi itu tidak jenuh, bosan, dan terkesan monoton.
Subarashi.....
BalasHapusarigatou gozaimashu, adieto-san.
BalasHapus:D
thanks ^^ jadi nambah ilmu .....he...he
BalasHapusrasa bosan terkadang bisa mematikan
tapi juga bisa membuat lebih inovatif dan kreatif
mantab gan,. jazakumulloh khoir :)
BalasHapus