“reducing CO2 start from ourself”. Masih ingatkah sewaktu kita masih kecil dulu, ketika kita bangun pagi kemudian menghirup udara di luar rumah, bau embun dan segarnya udara pagi hari yang sekarang mungkin sudah mulai berkurang karena akumulasi karbondioksida di udara. Kicau burung menyambut sinar mentari yang melengkapi suasana pagi hari yang dingin dan cerah. Rindu dengan suasana itu. Kesombongan kita melunturkan keindahan alami yang sulit untuk dikembalikan. Mobil yang berjejer di garasi kita mungkin telah meracuni pernafasan kita tanpa kita sadari. Sepeda motor yang kita pakai untuk mengantar kita ke kampus, ke kosan teman, atau bahkan ke warung makan yang mungkin hanya berjarak 100 meter dari kosan kita juga telah menambah kadar karbon di dalam atmosfer. Coba kita lihat dalam sebuah keluarga, berapa banyak mobil yang dia punya, berapa banyak sepeda motor yang mereka miliki. Berapa banyak konsumsi bensin per hari yang dibutuhkan? Belum lagi akhir-akhir ini muncul isu bahwa harga minyak dunia naik US$10 per barrel dikarenakan persediaan minyak dunia semakin menipis. Bagaimana nantinya jika bensin di dunia ini sudah benar-benar habis? Namun jarang kalau kata bensin pada kalimat tanya itu diganti dengan kata udara. Sadarlah kawan, bumi kita sedang sakit.
Tiap tahun jumlah karbon di udara semakin bertambah secara eksponensial berbanding terbalik dengan berkurangnya umur bumi secara aritmatik. Dicuplik dari suatu media cetak, bahwa saat ini konsentrasi karbondioksida telah mencapai 350 ppm. Bila dalam 60 tahun ke depan, tingkat CO2 yang dihasilkan kendaraan bermotor tidak berubah maka konsentrasi CO2 akan meningkat menjadi 550 ppm. Perlu diketahui bahwa setiap kenaikan 100 ppm CO2 dapat menyebabkan kenaikan suhu di alam sebesar 10 Celcius. Pantas saja beberapa dekade terakhir suhu di Indonesia atau dunia meningkat karena bertambahnya konsentrasi CO2. Bogor merupakan salah satu kota yang sangat terasa sekali perubahannya karena bertambahnya gas karbondioksida di udara. Teringat obrolan saya dengan kawan saya yang berasal dari daerah Bogor. Dia berkata Bogor sewaktu dia kecil tidak seperti Bogor yang sekarang. Dulu, pantas jika Bogor menjadi tujuan wisata karena memang udara di sana sejuk dan dingin, namun sekarang tidak seperti itu adanya. Kita dapat juga merasakan betapa panasnya suhu di sekitar. Cobalah perhatikan seberapa sering kita mendengar ataupun mungkin mengucapkan sendiri kata-kata seperti: “Panas banget ya hari ini!”. Atau mungkin karena jarak tempuh kita di luar ruangan hanya sebentar kemudian kita langsung memasuki ruangan yang ber-AC sehingga kita tidak begitu merasakan panasnya suhu di sekitar kita. Anda dapat menanyakannya kepada teman-teman ataupun orang disekitar Anda yang kebetulan bekerja di luar ruang. Orang-orang yang sehari-harinya bekerja dengan menggunakan kendaraan terbuka di siang hari bolong (misalnya sales dengan sepeda motor) mungkin dapat menceritakan dengan lebih jelas betapa panasnya sinar matahari yang menyengat punggung mereka.
Sudah banyak aktivis lingkungan serta mahasiswa yang berkoar-koar tentang hal ini. Tapi coba kita lihat, toh mereka juga masih belum mampu mengaplikasikan apa yang mereka suarakan. Lalu bagaimana kita menyikapinya? Talk less do more. Sedikit bicara banyak bekerja. Tak usah kita ikut-ikutan berdemo jika kita sendiri belum mampu untuk melakukannya. Mulailah dari diri sendiri dengan cara meminimalisasi penggunaan sepeda motor atau kendaraan pribadi kecuali kalau kita sedang melakukan suatu perjalanan yang cukup jauh. Biasakan ke kampus dengan jalan kaki, itu salah satu cara yang sudah diterapkan oleh mahasiswa Institut Pertanian Bogor. Kalau kalian lihat, sepeda motor di IPB tidak sebanyak sepeda motor di universitas lainnya. Jika di universitas lain pejalan kaki merupakan minoritas, di IPB pejalan kaki merupakan mayoritas.
Malu jalan kaki? Coba contoh anak ini, dia anak seorang direktur PT. Pertamina yang kuliah di IPB jalan kaki ke kampus dari kosannya. Dan anak seorang dokter kepresidenan yang juga saya kenal dekat, dia ke kampus juga jalan kaki. Dan itu hal yang biasa di sini.
Jalan kaki capek, lagian kampus saya kan jauh dari kosan. Alasan yang sering saya dengar dari kawan-kawan di universitas lain. Bukan cinta kalau tidak ada pengorbanan bukan? Kalau capek, cari alternatif lain. Bisa dengan cara membonceng teman yang satu jurusan atau minimal satu fakultas. Dengan begitu akan meminimalisasi penggunaan kendaraan pribadi. Udah satu kosan, satu jurusan, satu kelas tapi pas berangkat kuliah pake motor sendiri-sendiri. Selain pemborosan juga tidak efisien.
Takut merepotkan teman. Tabiat orang Jawa, tidak suka untuk merepotkan teman. Memang bagus sih, tapi kalau untuk kebaikan apa salahnya kita minta tolong ke teman kita sekalian kita menjelaskan ke mereka. Toh kalau kita menjelaskan dengan cara yang baik mereka malah akan mendukung kita. Kalau memang tidak ingin merepotkan teman, pakailah sepeda dan tinggalkan motor di kosan. Cara yang saya pakai untuk mengurangi konsumsi bensin dan mengurangi jumlah racun karbon di dalam udara. Kalau tidak punya sepeda, beli. Itu merupakan investasi kita, untuk bumi, untuk kesehatan kita juga. Kata anak kedokteran yang mereka mengerti tentang seluk beluk kesehatan, “kesehatan itu mahal harganya”. Jadi jangan bandingkan harga sepeda yang mungkin bisa kita beli jika kita menabung selama 4-6 bulan dengan kesehatan kita yang tidak bisa kita beli walaupun harus menabung seumur hidup kita.
bike to campus, bike to a better life |
Save the earth.. Together we can
BalasHapusTulisan yg menggugah..
Moga banyak yg baca..
Tp lebih banyak yg bertindak
sukiuki a.k.a sentani :
BalasHapusyep..let's start from ourself first.
alhamdulillah kalo di kampus kita tercinta dikit yang pake kendaraan bermotor ke kampus, banyak yg jalan kaki.
jadi udah lumayan berkonstribusi dikit lah.
tp yg mengecewakan, kenapa di sepanjang jalan Bateng-Bara bertebaran banyak banget angkoot?!
*bikin sedih*
T.T