3/18/2012

Ayah juara satu







Assalamu’alaikum warahmatullah” kutolehkan kepalaku ke arah kiri, mengakhiri shalat isya’ secara berjama’ah. Setelah shalat aku terdiam. Dalam diam rasa haru dan rindu tiba-tiba muncul di dalam hatiku, teringat akan sebuah kenangan. Kenangan masa lalu tentang  harapan ayahku. Seusai sholat sebuah do’a kupanjatkan sebagai bukti baktiku kepadamu. Doa inilah yang mampu mengobati rasa rinduku. Tak ada lagi yang bisa aku hadiahkan kepadamu untuk segala jerih payahmu, melainkan hanya sebuah doa. Walaupun aku sadari berapapun banyaknya doa yang ku panjatkan, tetap tidak akan mampu melunasi segala apa yang telah engkau lakukan.

le… sini…!, iqra’nya dibawa” suara berat ayahku yang dulu selalu terdengar selepas shalat maghrib. Akupun menghampirinya dengan membawa buku kecil berwarna merah yang bertuliskan “iqra’ jilid 1”. Masih lekat dan teringat di dalam otakku, bagaimana kesabaran ayahkku berjuang mengenalkan huruf hija’yah kepada putranya yang kini telah beranjak dewasa. Satu demi satu huruf hija’iyah disebutkan dan aku harus menirukan sebagaimana yang ayahku ucapkan. Terasa membosan bagiku yang ketika itu lebih senang dengan acara televisi, dan lebih tertarik dengan mainan baruku yang baru saja dibeli. Sebagai bentuk protesku, kadang aku berlari kesana kemari, tidak perhatian dengan apa yang ayah ajarkan. Namun ayahku tidak pernah bosan dengan tingkah polahku, dan tetap sabar mengajari ku membaca Al-Qur’an.

Pernah suatu ketika ayahku memukulku karena aku mogok belajar. Tentu saja suara tangisku membahana, merobek ketenangan senja. Namun, dengan penuh sayang, jemari ayahku membelai rambutku. Dan lisannya memberikan nasehat bertapa pentingnya belajar membaca Al-Qur’an. Kala itu aku tidak faham dengan semua yang beliau ucapkan, aku hanya mendengarkan dan sedikit senang karana mendapatkan sebuah perhatian. Namun ada satu pesan yang tidak bisa aku lupakan, “le… kamu ini anak laki-laki, jadi harus bisa baca Al-Quran…karena anak laki-laki kalau sudah besar akan menjadi imam.
Setelah kejadian itu setiap malam ayahku menuntunku untuk menghafal juz’amma. Dimulai dari an-nas hingga terus naik ke atas. Bagi diriku yang masih kecil butuh beberapa hari untuk menghafal satu surat pendek. Namun ayahku tidak pernah mengeluh atau bahkan putus asa dalam mendidik anaknya. Seringnya, setelah aku berhasil menghafal satu surat pendek, doa-doa sholat, ataupun doa sehari-hari dari TPA yang kuikuti, aku akan memamerkannya kepada ayahku. Rasa senang ketika melihatku bisa menyetorkan hafalanku dengan sempurna, terekspresikan dengan seulas senyum di wajahnya. Lalu biasanya sebuah pujian atau belaian di rambutku akan aku terima.
Kini semua itu hanya menjadi sebuah kenangan. Engkau tidak akan lagi mencubitku, ketika rasa futur (malas) mengabrasi semangatku. Engkau tidak lagi membelai penuh sayang, ketika jiwa ini menangis menghadapi beratnya ujian.Engkau tidak lagi memberikkan senyuman penuh kebanggaan, ketika sebuah tantangan berhasil kuselesaikan. Karena kau anggap diriku telah dewasa, telah mampu menentukan masa depan diriku sendiri. Namun harapanmu kepadaku tetap Allah jaga wahai ayahku, Allah membukakan mata hatiku untuk memperdalam agama. Setelah ku terlena dengan kehidupan dunia.

8 komentar:

  1. maka sayangi lah ayah kita selagi masih ada, apapun itu caranya :)
    karena ketika ia sudah 'pergi' penyesalannya akan selalu menghantui, dan penyampaian sayang kita akan terbatas..

    BalasHapus
    Balasan
    1. yuphh . .makanya, mumpung ayah masih ada.
      berikan yang terbaik untuk beliau.
      bukan hanya untuk ayah, tapi untuk ibu kita juga.
      untuk semua orang yang menyayangi kita.
      karena untuk sekarang, hanya dengan membuat mereka banggalah yang kita bisa.

      Hapus
    2. udah gak ada T.T
      tapi harus ttp semangat ^^v

      Hapus
  2. eh bukan terbatas tapi, merasa selalu kurang puas krn tdk seperti dahulu. smngt kakak

    BalasHapus
  3. takut...
    takut belum bisa memberi yg terbaik..
    pertama menelan kegagalan,,uji pertama kontam..:(
    bagamana aku menjelaskan pada meraka (ayah ibu) sedang mereka telah merindukan kelulusanku..:(

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehe . .kontam?!
      wahhh . .mainnya ga aseptis sih.
      :p

      sante wae bro, semua itu butuh proses.
      tinggal kita yang akan sabar mengalahkan proses itu, ataukah kita yang akan dikalahkan oleh proses itu.
      :)

      Hapus
  4. Kalo gw dulu ayah-ibu yang ngajarin, jadi ga cuman ayah :) Dan sekarang walo udah ga maksa2 lagi buat menghafal AlQuran, kadang diplototin kalo ba'da magrib ga tilawah. Asli, kayak anak kecil aja diplototin kayak gitu XD

    BalasHapus
    Balasan
    1. wahh . .kalo ibu mah masih patah-patah bang baca qur'annya.
      dulu di kampung ibu ga ada TPA kayak jaman sekarang, jadinya ibu belajar baca qur'an pas udah nikah.

      asik donk masih diplototin, jadi ada yang ngingetin.
      seumuran kita kan biasanya kalo ga diingetin suka males2an.
      :D

      Hapus

Welcome to my "freak" blog site.
You don't have to send the greatest note in the world or come up with clever phrases.
Just let them know you appreciate it.
When have you ever wished someone hadn't thanked you?
Any comments are very meaningfull for a better the writing writer's.
^_^
arigatou gozaimashu.

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...