Menjadi seseorang yang sudah
beberapa kali mendaki gunung kerap kali dijadikan alasan oleh teman-teman dalam
menunjuk diriku sebagai team leader
pada kegiatan pendakian gunung. Padahal, jika dilihat dari ilmu mendaki gunung,
saya masih termasuk di dalam golongan orang-orang baru, karena sejatinya saya
tidak pernah ikut dalam kegiatan pendidikan dan pelatihan teknik mendaki ala
pecinta alam yang sesungguhnya, dari awal memang saya tidak tergabung dalam
kelompok pecinta alam organisasi tertentu jadi wajar jika pengetahuan yang saya
miliki tidak selengkap mereka. Namun, apa yang saya miliki berdasarkan
pengalaman yang saya dapat, apa yang saya lihat, apa yang saya dengar, dan apa
yang saya rasa ketika melakukan pendakian menuju sebuah tempat yang sering saya
sebut sebagai Negeri di Atas Awan.
Team leader yang hebat
akan bekerja secara efektif agar timnya tetap dalam keadaan yang stabil, dan
selalu melihat keadaan setiap anggota tim. Artinya, kiita harus berpikir dan
berperasaan bahwa tim kita kuat dan selalu memberikan dukungan untuk membangun
kembali mental yang biasanya kerap kali menurun dikarenakan pendakian yang
panjang dan sangat menguras tenaga.
Mungkin sebagian
orang berpikir bahwa menjadi team leader
di dalam sebuah pendakian adalah hal yang sepele dan mudah, karena kita hanya
tinggal mengatur jadwal, mengomunikasikan keadaan, membagi tugas, dan
mengoordinasi perjalan. Namun, pernahkah kita berpikir bahwa ketika sudah
memutuskan untuk melakukan perjalanan di alam bebas kita bermain dengan
keselamatan kita sendiri? Bahkan tidak hanya itu, keselamatan tim dapat menjadi
tanggung jawab seorang team leader
tersebut.
Dalam pendakian
gunung banyak sekali resiko yang dihadapi dan sebagai team leader, kita tidak boleh panik ketika menghadapai resiko
tersebut sewaktu di atas gunung. Maka rencana dan keputusan yang matang harus
disiapkan, baik yang dalam keadaan normal maupun spontan. Kita harus memperlihatkan sikap yang tenang dan
mendorong semangat anggota tim untuk menyusun strategi baru jika terjadi
sesuatu hal di dalam perjalanan. Kita wajib untuk mengoordinir, mengomunikasikan,
dan memberi perasaan yakin dan percaya diri kepada setiap anggota tim, ego
harus dibuang jauh-jauh ketika kita sedang berada di alam.
Maka,
ketika di dalam tim ada anggota baru, saya selalu berbagi filosofi pendakian, bahwa pendakian adalah bertemunya sekian
banyak jiwa dari sudut bumi, bertaruh mencari semangat yang terkikis,
menampilkan toleran terbaik dan menyepakati persaudaraan, tanpa perbedaan usia,
strata sosial, suku dan juga agama. Pendaki harus menepis semua dimensi yang
membangun dinding pemisah. Pendaki adalah petarung moral yang sebenarnya.
Karena di dalam pendakian, materi tak lagi ‘dibutuhkan’, yang ada adalah
kebersamaan, tenggang rasa dan kepedulian sesama. Dengan filosofi ini
saya berharap anggota tersebut dapat memahami hakikat pendakian yang sebenarnya
dan membawa ‘sesuatu’ setelah melakukan kegiatan pendakian.
Dan
terakhir, sebagai team leader kita
harus memahami bahwa tim pemenang harus selalu mempertahankan sikap yang hebat
setelah beberapa kemenangan dan kekalahan. Jadi, saat dapat mencapai target
yang ditetapkan janganlah sombong dan berlebihan, ketika kita telah menggapai
puncak tertinggi, bukan kesombongan yang dimunculkan melainkan rasa syukurlah
yang harus diucapkan karena tidak semua orang dapat merasakan apa yang kita
rasakan saat itu. Dan demikian juga saat tim tidak mampu memenuhi target dan
tidak sampai puncak, janganlah panik dan meragukan kekuatan tim kita, karena di
setiap pendakian puncak bukanlah segalanya. Ada kalanya lebih penting untuk
menghargai dan menyelamatkan kehidupan kita ketimbang mengorbankan segalanya
demi ambisi kita, seperti cerita dalam novel Into Thin Air yang diangkat dari kisah nyata dan catatan pribadi
Jon Krakauer, wartawan dan penulis buku yang mengisahkan perjalanan menuju
puncak Everest yang berakhir tragis. Kita harus menekankan kepada tim kita
bahwa puncak bukanlah segalanya, dan puncak tetap bukan segalanya.
Selamat menjadi team leader yang
tidak hanya dapat membawa tim kita dapat berdiri di atas tanah tertinggi, namun
juga dapat kembali ke rumah dengan selamat tanpa kurang apa pun.
Salam lestari!
follow the leader....roger that...!!! (CS mode )
BalasHapustp tetep ingat diatas leader masih ada "emak" nya leader,hehe..
jangan lupa buat ijin sama emak,,dan jangan memaksa untuk berangkat jika emak kita tidak mengijinkan atau melepas kita dengan berat hati...(dampaknya besar lho,,baik ke kondisi psikis hingga apa yg akan kita jumpai di lapangan --> just share pengalaman priabdi aja kang..:))
moga kita bisa terus menjalani hobi ini sampe kakek bro, tanpa kehilangan satu anggota tubuh pun,hehe..:p
masbro..ingat pertama kita naik Lawu?,disitu aku merasa hanya "gunung" yang bisa membuat kita kita sebaga seorang "sahabat" yg sebenarnya...^_^
haha..kena racun CS toh.
Hapus:D
indeed, parent's permission can affected our itinerary, if they not allow us to hike the mountain so dont force to go there, because it'll have a bad effect later.
pengalaman membentuk kita,
BalasHapuswah keren yah, dan kompak banget
BalasHapusjooos....(y)
BalasHapus